Supernova: Kesatria, Putri, Bintang Jatuh The Movie

Salah satu film Indonesia yang saya tunggu tahun ini. Nunggunya sambil deg degan karena sebagai pembaca, ekspektasi saya terlalu tinggi untuk film ini. Walaupun sejak tahun lalu begitu tau jajaran pemain yang ikutan (berasa 5cm jilid 2 gitu), mulai deh saya menurunkan kadar ekspektasi itu dan semakin turun lagi setelah melihat teaser filmnya.
Well...akhirnya saat itu tiba. Saya berkesempatan untuk menonton film ini duluan sebelum tayang di bioskop dan ada bagusnya ekspektasi saya menurun karena akhirnya saya menjadi lebih mencoba menikmati tontonan ini tanpa (ga mungkin bisa sih) mencoba membandingkannya dengan novelnya.
Premis utama yang diangkat ternyata mengenai cinta segitiga antara Ferre-Rana-Arwin. Agak sedikit beda dengan interpretasi saya dengan novelnya (lah...katanya gamau bandingin) tapi mungkin bagi produser, cerita itulah yang dinilai bisa memancing orang untuk berbondong-bondong datang ke bioskop. Entahlah benar atau tidak.
Ngga usahlah mungkin saya ceritakan isi filmnya, apalagi bagi yang sudah membaca novelnya, pasti tau dong. Tapi sebagai penikmat film dan pembaca buku saya ingin memberikan beberapa catatan tentang film ini.

Kalau udah lihat trailer film ini, kita pasti bisa tau kalau produser ga main-main dengan pembuatan filmnya. Setting tempat dilakukan di Jakarta, Bali, Madura, Baluran, Danau Toba hingga Washington DC. Menurut saya sih setting di DC ini agak too much. Kalo baca bukunya, kejadian itu cuma di apartement dan sebenernya bisa dilakukan di mana aja. Cuma yah mungkin biar keliatan keren gitu shooting di Amrik .
Lokasi yang lain misal di Bali itu, wah...keliatan banget sebuah hunian yang sangat mewah padahal harusnya rumah Ferre dan Diva itu di Jakarta, bukan Bali hihihi tapi lagi-lagi karena mungkin pengen gambarin sosok Ferre sebagai seorang Eksekutif Muda yang sukses dan mapan  (pake banget, cuy...mobilnya ajah Ferari, eh apa Lamborghini ya?) dan susah untuk mencari lokasi yg sesuai di Jakarta (mungkin), maka Bali dijadikan pilihan deh.
Terus yah...itu ada adegan nikahan Rana-Arwin yang mewah bener *sirik padahal* yang sebenernya sih menurut saya lagi-lagi ga penting juga untuk diperlihatkan. Scene Ferre pertama kali ketemu Rana juga agak lebay, lebay di kostum Rana sih. Temen saya yang ikut nonton sampe komen. Itu emang ada yah wartawan yang dandanannya kaya gitu? Hihihi. Dan saya bilang, kan Rana diceritain wapemred majalah wanita walopun ga yakin juga Pemred atau Wapemred (kecuali majalah fashion kali ya) punya penampilan seperti Rana di film ini. Scene ga penting lainnya adalah saat Ferre (mimpi sebenernya) panik karena Arwin menabrakkan mobilnya ke rumah Ferre. Mamaaakk, ituh mobil BMW jadi rusak sayang banget, manalagi rumah bagus banget itu juga jadi berantakan, mending kasih saya ajah atuh daripada kaya gitu mah. Emang sih tau kalo budget film ini sampe 20M tapi atuh da naha jadi nyaah nya?*kapikireun wae*. 

Dialog-dialog di dalam film ini kerasa banget plek plekan sama dengan di novelnya. Mungkin si penulis skenario pengen setia dengan isi novel tapikan harusnya bisa lebih luwes, agak aneh ngedenger bahasa tulisan dijadikan dialog langsung. Percaya deh setelah ini istilah serotonin, bifurkasi dll akan kembali ngehitz kkkk.
Bagaimana dengan pemain? Arifin Putra berhasil meyakinkan saya dengan aktingnya. Di luar dugaan, Hamish Daud pun cukup bermain dengan bagus di sini. Junot sebenernya oke, apalagi di beberapa adegan yang mengharuskan dia seperti terguncang batinnya itu dimainkan dengan pas namun entah kenapa menurut saya dia tetap belum cocok memerankan sosok Ferre. Fedi Nuril tidak terlalu banyak berperan di sini namun dari kemunculannya yang sedikit, kita bisa tetap merasakan kehadirannya yang cukup kuat. Raline masih cukup oke walaupun pas bagian VO, entah kenapa emosi dia kurang aja. Datar, kaya baca teks gitu. Ah sayang sekali. Bagaimana dengan Paula? No comment. Silakan tonton sendiri aja
Film ini durasinya cukup panjang. Hampir 2,5 jam gitu jadi ada bagian yang cukup (banget) ganggu sebenernya. Entah kenapa sutradara atau penulis skenario sepertinya merasa kesulitan untuk membuat ending film ini. Mungkin ada sekitar 2-3 kali yang membuat saya mikir, oh filmnya udah selesai, eh ternyata belum tuh! Aaarrghh sumpah ini ganggu banget. Padahal ya itu novel kan memang gantung (maaf, lagi-lagi saya membandingkan dengan novelnya) jadi ngga perlu lah dibikin macam (maunya) penjelasan buat yang nonton. Biarkan saja padahal penonton itu pas keluar dari bioskop penuh dengan pemikiran-pemikiran mereka masing-masing jadi ngga ada kesan terpaksa menyimpulkan gitu jadinya *kesel*.
Loh kok komennya jelek semua sih? Eits tenang, tetap kok menurut saya film ini sangat layak ditonton. Bukan karena saya yang nerbitin novelnya kemudian supaya orang yang abis nonton dan belum baca buku bisa beli novelnya (hm, yah itu juga sih). Tapi banyak juga sisi positif dan kalau boleh bilang banyak terobosan baru yang mungkin belum ada filmaker indonesia yang membuat itu. Contohnya memasukan CG yang smooth dan keren abis di beberapa adegan. Seperti waktu Dimas dan Reuben menikmati Badai Serotoninnya, kisah dongeng Kesatria, Puteri dan Bintang Jatuh yang dibikin versi animasi, adegan Ferre mau bunuh diri. Gila...itu semua keren! Belum lagi aerial shot yang diambil. Baguuus banget! Ga percaya?silakan nonton sendiri yah nanti tanggal 11 Desember. Semoga paling ngga kita semua bisa terhibur deh dan tetep dong harus dukung perfilman indonesia (dan jangan lupa beli bukunya!) *teteeup promo*

Nb: untuk penggemar Gio, maaf idola kalian ga ada di film ini. Entah apa pertimbangan produser tidak memasukkan Gio ke dalam tokoh di film ini padahal di seri berikutnya, peranan Gio sangatlah penting. Apakah ini tandanya ga akan ada film berikutnya? Mari tanyakan pada rumput yang bergoyang...

Commentaires

Articles les plus consultés